Friday, May 20, 2011

Cerita temanku kemarin dulu

Matanya melayu mengenang kisahnya
Mengemis pada sang Penguasa
Dengan mengais do'a-do'a
Untuk menemukan cinta yang sebenarnya

Pilu mendengar suaranya
Mendelema ke jurang putus asa
Sebuah rintihan meratapi takdirnya
Mengapa ketulusan tak kunjung menyapa

Hatinya berkecamuk dalam kediaman
Menentukan sebuah pilihan kehidupan
Peristiwa lalu melekang pengakuan
Mengurung naluri kemarahan

Lugas bibir mungil menelan penyesalan
Memberanikan diri melangkah penuh keyakinan
Lalu mengembang senyum keikhlasan
Mengembalikan peka sebuah impian


Saturday, February 5, 2011

Makna Cinta

Bagiku cinta tak sekejar kecantikan raga.
Tapi...lebih dari itu,
Cinta adalah naluri dua jiwa yang saling terikat, sederhana dan apa adanya.
Juga sebuah perjuangan untuk tetap lurus ada dijalanNya.

Sehingga aku takut saat kau bilang cinta adalah ketertarikan fisik.
....Aku takut....
Jika kecantikan raga telah dicabut olehNya.
Apakah cintamu masih ada ?

Namun gini kulega....
Pandanganmu tentang cinta telah berubah.
Kini cinta kau maknai dengan menerima kelebihan dan kekurangannya.
Itu satu paket yang harus kau genggam.

Harapanku...dengan makna cinta yang kita miliki,
Semoga mampu membawa kita terus bersama...kesana....
Ialah Surga Darusalam....

♡♡♡♡♡♡♡♡♡


Feb 2011

Monday, January 31, 2011

Ketulusan Cinta...

Menatap matamu yang tak lagi bermakna
Kesedihanku menghampiri sukma
Kucoba menuntunmu cinta
Menapaki jalan yang menurutmu tak berwarna

Sudah sekian lama
Jejak kaki ini nyaris putus asa
Ingin sekali berlari
Meninggalkan cinta sendiri

Dalam angan kupaksakan jiwa
Tentangan batin tak merestuinya
Nalurikupun ikut bicara
Tentang ketulusannya yang semakin menderita

Saat kutemukan jingga
Waktu mengajariku berkata
Semoga aku tak salah mengartikannya
Mengenai tulusnya cinta yang tak kenal putus asa

Kutatap cinta dengan linangan air mata
Buah sesal kudekap tubuhnya
Sebuah maaf terucap jua
Kuukir janji didalam jiwa
Tak akan ada niat lagi meninggalkan cinta






Wednesday, January 19, 2011

Ikhlas

Saat Cinta melukai hati,
Apakah Hati sanggup memahaminya ?

Saat Cinta meninggalkan hati,
Apakah Hati ikhlas melepasnya  ?

Ku tau Cinta itu tak ada yang sempurna
Karena kesempurnaan Cinta hanya milikNya

Tapi dariNya aku belajar untuk menyempurnakan Cinta
Hingga tak rela, bila Cinta yang sekian lama kita bina hancur begitu saja


♡♡♡♡♡♡♡♡♡



Bagian Diri Yang Lainnya

Dari silam bagian diriku lainnya telah kudatangkan
Sosok bijaksana kurindukan terbayang dalam angan-angan
Berharap menjelma mengisi hampanya kehidupan
Sebuah bayangan yang seharusnya ada tak pernah terhadirkan


          Bohong ! Jika kubilang ku tak kecewa
          Karena dulu ku kerap iri pada mereka
          Kebersamaan yang mereka bina begitu mempesona
          Hingga aku bertanya...
          Mengapa aku tak mendapatkan yang sama ?


Tak ada kenangan yang tercipta diantara kita
Padahal semestinya ada
Dalam lamunanku pun wajahmu tak pernah hadir menyapa
Sulit melukiskan, sosokmu itu mirip siapa
Atau mungkin, imajinasi yang ku punya tak seindah yang ku kira


                 Bukannya aku lupa...
                 Tapi aku tak mengenalnya
                 Ck...mengapa dulu tak kau tinggalkan kenanganmu sedikit saja
                 Untuk mewarnai halusinasiku yang gini terasa hampa
                 Biar kurasakan sedikit saja hidup yang bermakna


Adalah aku bagian dirimu yang terlupa
Jika kau memohon padaku untuk melupa
Katamu, agar hatiku tak lebih dalam terluka
Yang benar saja...!
Apakah engkau lupa...?!
Bahwa kenyataannya...aliran darah tak bisa terhapuskan begitu saja


        Malu...begitu katamu saat waktumu ku minta
        Izinkan aku berkata,
        '' Saat kau menyesal karena dosa,
        Sisipkanlah do'a untukku disetiap sujud yang kau punya. ''




Jan - 2011

Wednesday, January 12, 2011

Last Minute


  
  
      Satu minggu di akhir bulan ini terasa begitu berat. Ini tidak seperti biasanya. Hatiku benar-benar dipenuhi kecemasan. Uang yang seharusnya kusisihkan untuk anggaran take home pay karyawan bulan ini ludes. Semua aku masukan sebagai anggaran untuk pembayaran ke suplayer. Demi sebuah kredibility perusahaan, pikirku. Produksi meningkat otomatis permintaan barang ke suplayer juga meningkat, sementara AR (Account Receiveble) macet, alhasil perputaran uang terhambat.

     Inilah yang aku perdebatkan dengan Pak Wahyu kemarin. Direktur Utama sekaligus pemilik perusahaan tempat aku bekerja. Sebagai bawahannya, aku dengan sombong lebih mementingkan sebuah kredibilitas perusahaan dibandingkan gaji karyawan.
      
     Toh gajiannya masih dua minggu lagi, pikirku waktu itu.
  
    Beliau memberi aku kesempatan. Tapi dengan satu syarat. Jika terjadi penundaan gaji, akulah yang diminta untuk mempertanggungjawabkannya di hadapan semua karyawan. Terutama didepan anak-anak produksi. Tentunya dengan sebuah penjelasan secara profesional dan yang mudah ditangkap oleh mereka. Tanpa membuat mereka cemas atau berpikiran yang bukan-bukan pada perusahaan.
     
     Aku menghela nafas panjang untuk mengurangi sesak di dada.
  
     Semangat !!! tekadku.

     Segera aku melangkah menuju ruang kerja Novi bagian Debt Collector.

     “Nov...” sapaku mengejutkannya.

     “Iya bu? Ada yang bisa saya bantu?” jawab Novi dengan nada heran karena kedatanganku yang pagi-pagi di luar kebiasaan.

     “Saya butuh AR kamu...” pintaku sedikit memaksa.
 
     Novi terlihat bingung, lalu membuka laci mejanya untuk mengambil sebendel dokumen faktur. Tanpa berpikir panjang dengan ragu-ragu menyerahkannya padaku, "yang ini bu?" tanya Novi tak yakin.

     "Iya," jawabku singkat. “Sekalian Customer phone book-nya,” pintaku lagi spontan saat aku melihat buku telepon di lacinya yang masih terbuka.

       Membuat Novi bertambah bingung.

     “Terimakasih,” ucapku pendek dan langsung membawa dokumen dan phonebook tersebut pergi tanpa penjelasan apa-apa.

     Aku tau ini akan meninggalkan banyak pertanyaan di kepalanya. Buat apa ya? Kenapa memintanya dariku? Apa yang bisa aku kerjakan tanpa dokumen itu?, aku mencoba menebak jalan pikirannya. Aku mengulum senyum membayangkannya. Samar-samar aku dengar ia menjawab, “s...sama-sama bu.”

     Karena Dateline-ku satu minggu lagi. Aku memutuskan hari ini untuk membantu Novi menagih dengan diam-diam. Ada LimaRatus Juta Rupiah yang due date dan TigaRatus Juta Rupiah sudah melewati masa due date. 

    Aku mulai menelpon satu per satu untuk mengingatkan dan menanyakan kepada mereka mengenai pembayaran.

     “Selamat siang Ibu Nadia !” sapaku pada finance PT. Namira Cosmetic.

     “Siang...” jawabnya ramah.

   “Ini dengan Anita dari Retro Advertising. Mau nanyakan perihal pembayaran invoice no 48/R/03/08 senilai Enam Juta Limaratus Ribu Rupiah yang sudah kami kirimkan 3 minggu yang lalu. Berdasarkan term of payment yang sudah disepakati adalah empatbelas hari. Dan sekarang due date-nya sudah lewat lima hari. Jadi kapan tagihan saya bisa diambil atau ditransfer Ibu ?” kataku dengan sopan.

     “Sudah tukar faktur?” tanya Ibu Nadia lembut.

    “Oh sudah dengan no Faktur 24/03/08 yang bertandatangan di sini atas nama Titis,” jawabku dengan jelas.

     “Kalau boleh tau orderan kami berupa apa ya bu?” tanyanya lagi dengan suara bingung.

     “Backwall untuk acara Talkshow di Plaza Senayan,” jawabku singkat.

     “Maaf bu! Nanti segera saya kabari. Saya cari dokumennya lebih dulu,” kata Ibu Nadia ramah.

     “Emang dokumennya pada kemana bu?” tanyaku dengan maksud bercanda.

    “Maaf ! Belum sampai ke meja saya padahal sudah tiga minggu, takutnya keselip...segera nanti saya kabari. Mohon maaf !” jawabnya dengan serius.

    “Baik bu...saya tunggu kabar baik anda. Mohon kerjasamanya. Masalahnya ini sudah lewat dari due date-nya. Terimakasih,” kataku mengakhiri telepon.

     Tidak bisa begini terus! Harus ada solusi! pikirku tak sabar. "Bagaimana bisa invoice keselip dan baru disadari sekarang, jangan-jangan Novi belum mengingatkan pembayaran kemarin," gerutuku kesal.

     Aku menghela nafas lagi untuk menekan nomor lainnya.

oooOOOooo


     Baru aku menyadari ternyata pekerjaan menagih itu dibutuhkan kesabaran, keuletan dan ketelatenan. Kalau tidak akan benar-benar menjadi sebuah beban yang menyebalkan. Bagaimana tidak. Sering diminta menunggu lama di line telepon yang biasanya ditemani nada tunggu music ring backtone iklan produk mereka. Belum lagi dilempar ke sana ke mari lalu berakhir tut.tut.tut.tut.tut.tut. (ini bukan suara kereta api, tapi suara telepon putus hemmm...) Semuanya menjadi tidak jelas. Ini sebuah bentuk pemborosan pulsa juga waktu.

    Sudah 5 perusahaan yang aku telepon dan berakhir sama. Putar-putar. Kalaupun bisa ketemu orang Accounting-nya atau Finance-nya di luar jawaban yang menyenangkan kita, sebagaian mereka yang bermaksud menunda pembayaran akan beralasan. Seperti, Accounting-nya atau Finance-nya sedang cutilah, cek belum ditandatangani atasanlah sementara atasannya sedang dinas luar kota, atau mereka bilang sedang diproses. Ada juga yang bilang baru diajukan. Memang kemarin-kemarin piknik kemana saja itu dokumen, pikirku dalam hati jengkel. Dan masih banyak lagi alasan-alasan yang diberikakan jika mereka ingin menundanya. ( bla...bla...bla...capek deh )

   “Sebuah bentuk alasan untuk menunda pembayaran....membuat hatiku tambah kesal aja,” aku berguman sendiri.

     Sempat juga terlintas dibenakku untuk mengikuti jejak mereka. Dengan memberlakukan hal yang sama terhadap suplayerku. Yaitu memberikan berbagai alasan yang kadang sebuah kebohongan untuk menunda pembayaran demi kepentingan yang lain. Tapi akan berdampak tidak baik tentunya. Membayangkannya membuat aku bertambah pusing. Yang pasti akan membuat hari-hariku jadi tidak nyaman. Bagaimana tidak ? Mereka akan mengejarku, bahkan mungkin bisa saja menggantungku, kalau sampai aku sering menundanya. Melahirkan sebuah kebohongan baru dan menyusul kebohongan yang lainnya. Pada akhirnya berujung BlackList. Cepat-cepat aku mengusir rencana pikiranku yang mulai errors itu. Seperti bukan diriku, benar-benar berbeda.

       Go out from my mind, jerit hatiku berusaha kembali pada naluri.

    Aku tau....mereka tak bermaksud menundanya. Tapi di mana letak tanggungjawabnya kalau batas duedate sudah lewat. Mau sampai kapan diminta untuk menunggu. Sementara aku sangat membutuhkannya. Suplayer penting karyawan juga penting. Ini sudah sangat serius karena menyangkut hak mereka. Tidak mungkin kalau aku meminta tambahan modal lagi sama Pak Wahyu pemilik perusahaan ini. Itu bukan solusi yang baik karena sama saja itu akan menambah kewajiban. Modal yang dulu saja belum lunas. Terus kapan perusahaan ini akan bisa mandiri. Masalahnya sudah ditemukan dan harus segera diselesaikan.

      Apakah ini yang dinamakan hukum alam? Sebuah ekosistem bisnis. Benar-benar menakjubkan. Dan aku...hemmm...

oooOOOooo


      Dengan begini aku jadi tau kesulitan Novi. Pekerjaannya yang membutuhkan kesabaran ini memang terlihat sepele, tapi tidak boleh disepelekan. Harus ada target, kelengkapan dokumen, keseriusan yang berkesinambungan. Kalau perlu ada koneksi dengan orang keuangan pada perusahaan klien yang bisa dipegang. Lagi-lagi komisi berbicara. Semuanya berhikmah. Aku akan mencari solusinya. Tidak boleh seperti ini terus. AR sangat dibutuhkan dan penting, tidak boleh tersendat. Demi kelangsungan hidup perusahaan. Dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak.

     Aku memutuskan untuk mengumpulkan marketing. Dan berakhir meeting. Dengan hasil kesimpulannya adalah, intinya aku meminta kepada mereka untuk membantu menagih klien mereka masing-masing dan memperingatkan mereka supaya benar-benar menekankan deal untuk ketepatan term of payment-nya titik.
     
    Padahal kita akan mengambil uang kita sendiri, hak kita adalah kewajiban mereka, tapi kenapa begitu sulit bahkan ada yang mempersulit. Melelahkan !

oooOOOooo


       Akhirnya semua berjalan lancar sudah ada jaminan yang bisa aku pegang untuk take home pay bulan ini. Walau tak sepenuhnya karena jaminan tersebut belum sepenuhnya ada ditanganku. Setiap saat aku memantau ke empat rekening perusahaan. Dan kurir finance-ku sedang berkelilng mengambil pembayaran sesuai janji mereka ditelepon.

oooOOOooo


      Hari ini adalah batas terakhir. Semua jaminan harus sudah ada ditanganku. Baik itu Transfer, Cash, Cek maupun Giro. Terutama bagi mereka yang melakukan pembayaran non transfer. Biar dengan segera mungkin bisa aku setor. Agar besok pagi atau siangnya sudah cair. Sehingga malam harinya aku bisa memasukan semua transaksi pembayaran gaji ke Internet Banking. Dan paginya Pak Wahyu bisa segera mengeksekusinya.

     Seratus Enampuluh Juta Rupiah akan masuk hari ini. Dari Sepuluh perusahaan, enam perusahaan akan melakukan sistem pembayaran dengan transfer via bank dan empat perusahaan meminta kami untuk mengambilnya secara langsung. Setiap satu jam sekali aku selalu memantau ke empat rekening perusahaan tersebut.

      Benar-benar membuat jantungan. Tak tega aku membayangkan raut wajah semua karyawan kalo sampai gaji mereka ditunda. Mereka mempunyai tanggungan yaitu keluarga mereka, yang setiap bulan sekali mengharapkan pengahasilan ini untuk kelangsungan hidup mereka.

      Ya Allah...help me!


      Kring...kring...kring... suara telepon itu membuyarkan lamunanku. Buru-buru aku mengangkatnya.

      “Bu ada telepon dari Ucup,” kata resepsionis dari lantai bawah.

      “Sambungkan segera...!” perintahku tak sabar.

      Ada apa ya ?, tiba-tiba saja perasaanku menjadi khawatir.

      “Halo !” suara ucup menyapa.

      “Ya ada apa?” tanyaku langsung tanpa basa basi.

      “Itu Bu...” jawab Ucup ragu.

      “Langsung saja!” sela-ku menunggu dengan seksama.

    “Saya sudah mengambil pembayaran klien di tiga tempat. Tinggal satu lagi di PT Tirta Busana dan sekarang saya lagi disana. Saya sudah ke bagian Finance. Tapi kata mereka tidak ada payment buat kita.”, cerita Ucup dengan hati-hati.

     Deg...!

  Seperti ditampar mukaku mendengar penjelasannya dan seakan membuatku langsung terbangun. Sepertinya aku tidak boleh berharap pada satu tempat dan satu tujuan. Bahkan berharap pada sebuah janji seseorang dari perusahaan besar yang selama ini terbukti selalu men-schedule-kan pembayarannya pada kami dengan tepat. Seratus Duapuluh Lima Juta Rupiah dalam satu hari. Darimana ? Aku harus menutupi kekurangan ini. Apa benar-benar harus ditunda gaji mereka...?! Baru kusadari ternyata besar juga tanggungjawabku. Ya Allah...satu-satunya harapanku yang kekal itu hanya padaMu.

   “Tetaplah disana ! Jangan Balik ! Tunggu telepon saya !” perintahku tegas dan langsung kututup telepon.

oooOOOooo

  “Halo ! Bisa disambungkan dengan Ibu Rara bagian keuangan?” kataku langsung kepada resepsionis Tirta Busana.

  “Darimana ?” tanya resepsionis itu.

  “Anita, Retro Advertising,” jawabku singkat.

 “Silahkan ditunggu !” kata resepsionis langsung menyambungkan. Tak lama aku mendengar nada tunggu tut...tut...tut...

  “Halo! Dengan Dian bisa dibantu ?” sapa penerima telepon itu.

  “Bisa bicara dengan Ibu Rara ?” tanyaku padanya.

  “Maaf ! Ibu Rara-nya sedang melayani pembayaran. Bisa telepon Lima menit lagi ?” pinta penerima telepon yang bernama Dian tersebut.

    “Baik ! Lima menit lagi saya akan telepon. Terimakasih !” jawabku kecewa.

     Keadaan ini benar-benar menguji kesabaranku.


oooOOOooo


     “Halo ! Dengan Rara bisa dibantu ?” sapanya.

    “Saya Anita dari Retro Advertising. Ibu Rara, Maaf sebelumnya ! Tolong pembayaran ke Retro-nya jangan ditunda kembali !” kataku langsung.

    “Maaf juga Ibu Anita ! Tapi giro belum ditandatangani. Jadi giro baru bisa diambil minggu depannya lagi.” Katanya memberi penjelasan.

    “Tapi yang saya pegang adalah janji anda kemarin Ibu Rara, bahwa hari ini giro sudah bisa diambil senilai Seratus Duapuluh Lima Juta Rupiah. Mungkin tadinya Ibu belum tau...baik akan saya kasih tau sekarang. Giro yang Ibu janjikan untuk pembayaran invoice kami no 57 tersebut akan sangat berarti untuk kami perusahaan kecil. Karena sudah kami masukan sebagai anggaran untuk pembayaran gaji karyawan kami bulan ini. Kalo secara tiba-tiba Ibu Rara bersikap seperti ini, saya benar-benar tidak tau harus bilang apalagi. Yang saya pegang janji. Bukankah dalam berbisnis hal itu sangat penting ? Saya kecewa!” kataku langsung menutup telepon tersebut, tanpa aku sadari, aku meletakkan gagang telepon itu dengan membantingnya.

    Praaanggg !!!

   “Anita...keruangan saya !” suara yang tak asing itu mengagetkanku.

  Reflek aku mengalihkan pandanganku ke arah sumber suara itu. Betapa terkejutnya aku. Melihat Pak Wahyu sedang berdiri didepan pintu ruanganku, sedang menatapku dan langsung menggeleng-gelengkan kepalanya saat aku menyadari kedatangan beliau.

   “Ba...baik pak !” jawabku gugup menatap punggungnya yang berlalu.

   Sudah berapa lama beliau berdiri disana untuk memperhatikanku ? Kenapa aku tidak menyadari bau parfum khas Pak Wahyu yang selalu menyebarkan keharuman ini ?, pikirku menyesal.

    Pak Wahyu. Tidak tau berapa banyak parfum yang disemprotkan ke badan dan pakaiannya dalam sekali pakai. Kami selalu mengetahui keberadaan Pak Wahyu hanya dengan mencium keharuman parfumnya ini. Penampilan Direktur ganteng yang masih single itu selalu menarik perhatian kami, karyawan wanita.

   Tiba-tiba terdengar suara instrumen Koi milik Kitaro, kontan pandanganku beralih pada sisi lain pada meja kerjaku yaitu asal suara tersebut. Ringing tone hape-ku membuyarkan lamunanku.

   Duh sempet-sempetnya aku berpikir yang tidak penting di tengah suasana genting seperti ini, padahal nasibku sedang di ujung tanduk. Jujur itu sangat merisaukanku. Pasti Bu Indah manajer marketing itu bakal mencak-mencak lagi padaku, setelah urusan reimburstnya yang tidak jelas kemarin aku tolak, sekarang ditambah ini. Aku yakin ibu satu itu akan bertambah sentimen padaku.

    Pasrah !!! batinku menenangkan.

    Kuraih hape itu.

   “Benar saja, satu detik yang lalu aku memikirkannya,” gumamku sendiri setelah kulihat nama Indah pada LCD hape-ku.

   Pasti dia habis telepon Pak Wahyu untuk mengadukan semuanya. Aku sudah hafal tabiatnya. Tenang Anita...Sabar...Fighting!, batinku menenangkan kembali.

    “Halo !” sapaku segera.

    “Kemana aja Bu ? Lama sekali angkat teleponnya ?” tanyanya sedikit ketus.

    “Maaf Bu ! Lagi banyak yang dipikirkan dan dikerjakan“, jawabku basa basi.

    “Ibu Rara telepon ngasih tau kalo gironya bisa diambil sekarang,” katanya memberi kabar baik padaku.

    “Sekarang ?” ulangku lagi untuk memastikan

    “Iya sekarang !” jawabnya lagi dengan tegas.

    “Terimakasih Bu untuk kabar baiknya...” kataku cerah.

  “Oh iya...satu lagi. Kalo nagih jangan galak-galak, yang sopan. Itu klien berhargaku.” Tambahnya memperingatkanku.

    “Demi giro Seratus Duapuluh Lima Juta Rupiah yang bisa turun hari ini...aku akan segera menelpon Ibu Rara untuk meminta maaf...walaupun sebenarnya...” kataku mengakhiri percakapan kami.

    Sengaja aku tidak melanjutkan kata-kataku. Karena mengingat posisiku dan jika sampai hal itu terjadi. Maka akan terjadi perdebatan yang tak berujung ditelepon dan itu bisa lebih melukai aku. Lebih baik aku mengalah ! Tapi ini benar-benar aneh ! Beberapa menit yang lalu Ibu Rara bilang sendiri padaku, bahwa giro belum ditanda tangani tapi kenapa sekarang sudah bisa diambil ? Begitu cepatnya...  Ah...apapun itu, ini sudah melegakanku.


oooOOOooo


    “Tolong sekalian tutup pintunya !” kata Pak Wahyu saat aku mengetuk pintu hendak masuk ke dalam ruangannya.

     Setelah aku menutup pintu dengan perasaan tak menentu aku berjalan menuju meja beliau. Mati aku !, pikirku takut sekali tak berani meliriknya apalagi menatapnya.

      “Kenapa baru datang ?” tanya Pak Wahyu dingin.

   “Maaf Pak ! Ada sedikit masalah yang perlu dengan segera diselesaikan,” jawabku masih tetap menunduk.

     “Mana dokumen yang mesti saya tandatangani hari ini ?” tanyanya lagi.

      Aku yang membawa setumpuk dokumen langsung menaruhnya diatas mejanya.

      “Ini Pak !” jawabku cukup pelan.

     Aku berdiri di samping mejanya untuk menunggu dokumen yang sedang ditandatangani tersebut. Tapi, biasanya sih aku akan meninggalkan dokumen itu. Lalu Pak Wahyu akan menelponku dan memintaku untuk mengambilnya kembali setelah selesai ditandatangani semua. Tapi karena ada yang ingin aku bicarakan dan ingin menjelaskan sesuatu padanya, tapi tidak tau harus memulainya darimana, maka jadilah aku sekarang, seperti orang bodoh yang berdiri di samping mejanya, mematung tanpa suara.

        Hening !

    Tapi kenapa Pak Wahyu juga aneh. Biasanya kalau tidak ada yang ingin dibicarakan denganku beliau akan memintaku untuk meninggalkan dokumen dan ruangannya. Tapi kenapa membiarkanku berdiri lama mematung seperti ini. Setidaknya beliau langsung sambil menegur aku atau memarahi aku seperti biasanya karena aku yang keterlaluan.

     Aku akan memulai bicara !, tekadku dalam hati.

    “Jadi...”

    “Eh maaf...”

    Tanpa disengaja, kami sama-sama mebuka percakapan.

    “Silahkan Bapak terlebih dahulu !” kataku kemudian memberikan kesempatan kepada Pak Wahyu.

    “Jadi...ada masalah ?” tanya beliau tak acuh.

    “Hemmm...Pak Wahyu pasti sudah mengetahuinya tanpa saya menjelaskan dan menceritakan ulang apa yang terjadi. Karena pasti Ibu Indah sudah menelpon Bapak sebelum menelpon saya. Ditambah lagi dengan tadi Bapak telah melihat dan mendengar apa yang saya lakukan secara langsung diruangan saya. Maafkan saya !” jawabku sambil mengamatinya dengan seksama.

    “Ya...aku marah padamu. Tapi kau tak perlu meminta maaf padaku. Lalu...apalagi yang kamu risaukan ?” tanyanya lagi.

    “Saya sudah meminta maaf kepada yang seharusnya,” jawabku lagi.

    “Melihat wajahmu sekarang, sepertinya engkau tidak ikhlas meminta maafnya,” kata Pak Wahyu sambil menatapku dan menghentikan aktifitas tandatangannya.

      “Bukan...bukan begitu. Saya tulus !” aku mencoba menyanggahnya.

      “Lalu ?” tanya beliau lagi tak mengerti sambil melanjutkan aktivitasnya untuk menandatangani dokumen kembali.

    “Hari ini Pak Wahyu sudah melihat kelemahan saya. Jujur saya malu meskipun Pak Wahyu sudah memaafkan saya. Saya memang sudah benar-benar keterlaluan. Saya pastikan ini yang pertama dan terakhir. Saya berjanji tidak akan mengulangi. Saya akan lebih mengontrol emosi saya. Atas sikap saya ini. Silahkan Pak Wahyu memarahin saya !” kataku dengan perasaan bersalah.

    “Kukira kamu sudah tau kesalahanmu ternyata belum...kalaupun aku ingin memarahin kamu bukan karena masalah ini. Duduklah dulu ! Aku capek melihatmu berdiri mematung disitu,” pinta Pak Wahyu dingin sambil menyelesaikan tandatangan terakhirnya.

     Aku melangkah pelan untuk duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Pak Wahyu.

     Ada masalah apalagi ini ?, batinku khawatir.

   Masih terpatri dengan jelas di hatiku, bagaimana marahnya Pak Wahyu pada aku dulu. Saat aku salah menuliskan nomor rekening pada giro yang akan aku gunakan untuk membayar mesin outdoor baru kami. Pak Wahyu yang lagi berada di Singapore untuk cek up kesehatan menjadi khawatir. Dan aku dihukum untuk melobby mereka karena penundaan payment atas kesalahkanku itu. Untung mereka mau mengerti. Atau saat aku salah mendengar perintah beliau sebab aku kurang konsentrasi karena pekerjaanku yang load, yang harusnya memindahkan antena astro tapi aku malah memindahkan AC. Dan aku telah menerima hukumannya.

     Ada Reward dan Punishment di dunia ini, begitu kata beliau.

   Aku menghela nafas tak kentara. Aku berharap bisa menetralkan emosiku. Aku harus menyiapkan diri menerima kemarahan Pak Wahyu.

     Apapun yang terjadi. Tenang Anita...tenang...!, tekadku di hati.

   “Sekarang aku tanya...” kata Pak Wahyu lalu diam menatapku dengan seksama nyaris membuatku salah tingkah tapi juga takut, “kira-kira apa yang membuat aku marah padamu ?” Pak Wahyu menyelesaikan pertanyaannya, “coba merenunglah sebentar !” katanya lagi.

    Aku diam menunduk. Mencari-cari dan mencoba untuk mengkira-kira kesalahan mana yang aku buat hingga membuat Pak Wahyu seperti ingin meledak untuk mengeluarkan semua kemurkaannya. Mungkin karena beberapa hari ini pikiranku sedang dipenuhin begitu banyak ketegangan sehingga aku belum menyadari dan menemukannya juga.

     Kau harus kuat Anita ! Tak boleh putus asa !, hati malaikatku memberi semangat membuat aku sedikit lebih percaya diri.

    Aku memberanikan diri untuk menatap Pak Wahyu dengan tegar sambil menggeleng pelan untuk memberikannya sebuah jawaban bahwa saya tidak tau.

     “Aku butuh seseorang yang bisa dipercaya Anita. Jujur ! dan Tahan banting !” katanya tegas sekali. “Dan semua sudah ada padamu. Dan yang paling aku suka kau mengerjakan semua tugasmu dengan ketulusan hati.” tambahnya lagi.

     “Maaf !” kataku masih mengerti.

  “Aku marah karena kamu tidak pernah mendengarkan aku. Sudah berapa kali aku bilang. Delegasikan...delegasikan...delegasikan pekerjaan. Aku tidak mau kau kehilangan konsentrasimu karena pekerjaanmu yang load. Tak perlu kamu yang menangani sendiri. Percayakan pada bawahanmu. Karena ada yang lebih penting yang bisa kamu pikirkan dan kerjakan dari sekedar menagih mengambil alih tugas Novi karena dateline yang mengerjarmu. Jangan kau kira aku tidak mengawasi kamu ! Lalu untuk apa aku menggaji Novi kalo kamu yang mengerjakan tugasnya. Kamu atasannya ! Harusnya kamu menyuruhnya. Beri dia target kalo perlu tekan dia untuk mengumpulkan berapapun uang yang kamu mau. Kalau kamu rasa dia tidak becus keluarkan cari penggantinya.” Nasehatnya penuh dengan kemarahan dan kekecewaan terhadapku.

    Pak Wahyu menghela nafas panjang sebelum berdiri dan melanjutkan kemarahannya.

   “Solusi...solusi...solusi ! Itu yang harusnya kamu cari untuk setiap masalah. Tapi dengan mendelegasikan Anita...delegasikan pekerjaan ke bawahan, bukan kamu sendiri yang melakukannya. Sekarang masalah yang kamu hadapi ada pada AR yang macet. Apa suatu hari kalau ada masalah dengan mesin, kamu sendiri yang akan telepon ke orang teknisinya untuk menanyakan ini itu. Bahkan mungkin kamu akan sibuk sendiri untuk mencari tau kerusakan mesin itu dan memperbaikinya sendiri ? Wah betapa hebatnya kamu Anita kalo sampai hal itu terjadi ! Kau punya bawahan sebagai alatmu yang bisa kamu suruh apa saja. Kau hanya perlu memantau, mengamati, dan memberikan solusi yang terbaik untuk kinerja alat-alatmu. Agar sistem di perusahaan ini semakin baik. Kamu juga harus memikirkan bagaimana caranya supaya semua karyawan di sini bisa nyaman, mencintai, dan bertanggungjawab dengan perkerjaannya masing-masing. Kau mengerti !?” lanjut Pak Wahyu berapi-api.

   “Mengerti Pak !” jawabku tegas.

   Aku tak berani menatapnya. Karena aku yakin saat ini Pak Wahyu pasti benar-benar ingin menelanku hidup-hidup. Ya...pasti begitu, pikirku kemudian.

   “Jaga jarak dengan para pegawai Customer maupun Suplayer. Tak bisa mereka langsung dengan mudah berbicara padamu. Kecuali dalam hal-hal tertentu. Semua ada tingkatannya dan terschedule. Jangan tunjukan kelemahanmu di depan orang-orang. Tidak juga dengan bawahan. Ingat itu baik-baik. Kalo kamu mempercayakan semuanya pada Novi tentu kejadian yang saya lihat dan dengar d iruangan kamu tadi tak akan terjadi. Harusnya kau hanya membantu memberikan solusi pada Novi untuk meningkatkan kinerjanya. Tidak perlu sampai   menggantikannya,” jelas Pak Wahyu sedikit relax.

   Aku mengangguk penuh percaya diri.

  “Oh iya satu lagi ! ha...ha...ha...” tiba-tiba saja Pak Wahyu kembali duduk sambil tertawa terbahak-bahak.

    Aku sungguh tak mengerti dengan sikapnya yang ini. Kemarahannya barusan masih membuat dadaku terasa sesak. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba tertawa. Aneh ! Beliau pintar sekali menaik-turunkan emosiku. Pasti kali ini dia akan mengejekku lagi...awas saja kalau sampai...

    Aku menunggu dengan waspada.
  “Ternyata kau bisa juga jadi preman...di luar dugaan. Ini sungguh sebuah kejutan. Aku benar-benar menyukainya Anita. Ini sangat lucu...ha...ha...ha...ha...” lanjutnya kemudian.

    Apa aku bilang...betulkan !, gerutuku dalam hati.

      “Saya rasa cukup ! Terimakasih untuk ejekannya !” jawabku dengan cemberut sambil menatapnya.

     Tapi sepertinya orang ini tidak menghiraukan kemarahanku. Awas saja...benar-benar orang yang aneh. Selalu saja menggodaiku, menyebalkan sekali. 

      Pak Wahyu masih saja menertawaiku terus dan aku hanya mampu terdiam.

      “Silahkan saja menertawai saya terus. Sampai puas!” ungkapku gondok.

     “Kenapa wajahmu di lipat-lipat seperti itu Anita ? ha...ha...ikutlah tertawa dengan aku, karena kau membutuhkan hiburan. Kamu ini sungguh polos...ha...ha...ha...” Pak Wahyu tampak bahagia hanya dengan menertawaiku saja.

      Aku diam membisu sambil menatap Pak Wahyu tanpa Ekspresi. Satu-satunya ekspresi yang muncul dengan tiba-tiba adalah khawatir. Tiba-tiba saja Pak Wahyu menghentikan tertawanya.

      “Apalagi yang engkau risaukan Anita ? Bukankah semuanya sudah Beres ?” tanyanya kemudian.

      Ini kesempatanku, bisikku dalam hati.

    “Izinkan saya menjadi preman sekali lagi pak ! Saya mohon ! Sekali lagi saja !” aku berkaca secara tiba-tiba dengan wajah serius.

      Dan itu membuat Pak Wahyu mengerutkan dahinya karena bingung, “maksudmu ?” tanyanya lagi.

   “Iya...! izinkan saya menjadi preman sekali lagi untuk merampok uang bapak...” kataku lagi untuk menyakinkan.

      Lalu aku berdiri meraih buku cek pribadi Pak Wahyu yang ada tergeletak diatas meja kerjanya. “Ini saya sita !” kataku sambil menunjukkan buku cek yang sudah ada ditanganku.

    Pak Wahyu bermaksud merebutnya namun kalah cepat denganku. “Kau akan balas dendam Anita?” tanyanya kemudian.

      Aku tersenyum jenaka.

     Lalu beliau berdiri hendak berlari menangkapku. Tapi aku lebih gesit karena aku berhasil meninggalkan ruangan beliau, setelah beberapa menit Pak Wahyu berputar di sofa untuk mengejar aku. Tak mungkin beliau akan mengejarku sampai keluar dari ruangannya. Karena akan membuat karyawan yang lain memandang aneh. Jadi aku aman.


oooOOOooo

     Kring...kring...kring...

    Telepon dimeja kerjaku berbunyi saat aku sampai di ruanganku. Aku tertawa kecil begitu melihat lampu line yang berkedip pada pesawat telepon itu. Sengaja aku mengabaikannya, karena aku tau itu line telepon dari ruangan Pak Wahyu.

     “Pak Wahyu....” gumamku sendiri.

    Mengingatnya membuat aku tersenyum rindu. Kadang beliau begitu hangat, kadang juga begitu dingin. Beliau orang yang baik tapi juga kejam. Beliau acuh tapi sebenarnya beliau peduli. Di depanku beliau bisa bersikap kekanak-kanakan seperti tadi, tapi di depan semua orang beliau begitu dewasa dan berwibawa. Lucu dan aneh rasanya kejar-kejaran dengan seorang Direktur Utama. Pasti tak ada yang menyangka Pak Wahyu bisa bersikap seperti tadi. Kami seperti anak kecil yang berebut mainan.

      Huuffff...memikirkannya membuatku tak bisa konsentrasi kerja.

      Akhirnya telepon itu diam dengan sendirinya.

      Apakah Bapak menyerah ?, tanyaku dalam hati.

     Segera aku mengisi cek yang aku curi dari Pak Wahyu. Seratus Duapuluh Lima Juta Rupiah. Apapun yang terjadi beliau harus menandatangani ini titik. Aku tersenyum puas.

       Ada message untukku di google talk.

    Cepat datang keruangan saya ! Kalau tidak...:p, aku tersenyum dan tidak menjawabnya, tapi langsung menuju ruangannya dengan membawa cek yang sudah aku isi dan sebuah rencana. Aku mengetok pintu itu sambil tersenyum kecil.
oooOOOooo

      “Kembalikan buku ceknya !” perintah Pak Wahyu sambil menatapku dengan serius.

    “Jangan khawatir Bapak ! Saya akan mengembalikan dengan segera, tapi ada satu syaratnya...” kataku tenang.

      “Anita jangan bercanda !” kata Pak Wahyu memperingatkan

      “Saya tidak lagi bercanda.” Jawabku langsung.

      “Lalu ?” tanyanya serius dengan ekspresi menunggu.

     “Bukannya saya tidak berani menghadapi semua karyawan kita kalau gaji mereka akan ditunda. Tapi saya tidak tega membayangkan wajah kecewa mereka. Bagaimanapun itu adalah hak mereka yang akan kita tunda. Mereka mempunyai tanggungan yang harus dipenuhi. Saya takut kalau sampai kita menunda gajinya mereka akan tidak bersemangat dalam bekerja,” kataku memberinya penjelasan.

      “Kenapa mesti ditunda Anita ? Bukankah semua sudah terpenuhi ? Jangan kau bilang uang itu kamu pakai lagi untuk membayar Suplayer !” tanya Pak Wahyu heran.

      “Tidak ! Saya tidak mengutak-atik uang itu,” jawabku santai.

      “Lalu ?” tanyanya lagi.

     “Giro dari Tirta Busana memang sudah kita terima senilai Seratus Duapuluh Lima Juta Rupiah. Tapi apakah Ibu Indah juga tau kalau giro tersebut mundur lima hari ? Itu berarti giro tersebut belum bisa mencair besok. Dan itu juga berarti bahwa Tirta Busana tidak menjadwalkan pembayaran untuk kita di bulan ini. Padahal biasanya selalu ada payment dari mereka dalam setiap bulannya, paling tidak dua kali. Padahal AR-nya yang melebihi masa duedate sudah hampir dua ratus juta sendiri. Mungkin itu sebabnya Ibu Rara tadinya bermaksud menahan giro tersebut, karena percuma juga kalau diserahkan, toh belum bisa langsung dipakai,” jawabku menjelaskan.

    “Apa karena itu kamu menjadi preman yang bermaksud merampokku ?” tebak Pak Wahyu menyakinkan.

   “Ya...dengan jaminan giro dari Tirta Busana,”, jawabku singkat, “jadi...silahkan bapak tandatangani cek ini !” kataku sambil menyodorkan cek yag sudah aku isi.

   “Kau benar-benar curang,” katanya jengkel, “kalau aku tidak mau ?” tanyanya kemudian.

  “Buku cek bapak tidak akan kembali ! Saya tau bapak tidak punya banyak waktu untuk mengurusnya kembali ke bank. Dan saya juga tidak mau membantu bapak. Dan saya juga tau besok bapak sangat membutuhkan buku cek tersebut,” jawabku tenang.

      “Anita.....kau benar-benar merampokku !” omelnya

      “Maaf ! Saya ralat. Yang betul pinjam...kalau bapak meragukan saya...saya akan tulis nomor rekening pribadi bapak di giro tersebut dengan begitu bapak akan merasa lebih yakin,” kataku menegaskan.

    “Ok...ok...apapun itu tetap saja merampok. Karena kamu mintanya dengan paksa...tak perlu aku percaya padamu,” sanggah Pak Wahyu.

    “Terserah apapun julukan bapak, saya terima. Yang penting bapak mau menandatangani cek ini,” kataku penuh percaya diri sambil tersenyum manis.

    “Kau merampokku...aku juga harus merampokmu...itu baru adil. Gajimu aku tahan sampai giro itu cair,” balasnya puas.

      “Ok kita deal ! Do it !” kataku setuju.

     Kami tak tau misteri apa yang akan terjadi besok dan besoknya lagi. Yang pasti saat ini kami bisa tersenyum lega.

oooOOOooo



Tuesday, January 4, 2011

Rindu

Kenangan selalu menyisipkan rindu
yang berwujud mimpi.

Begitu sering kali hadir
dikala hati sedang sepi.

Contohnya siang ini...
Kenapa ku terpaku
berdiri menatap kursi tua disudut taman ini?

Pernah ada yang menungguku lama dikursi ini
dan naluriku tersentuh pada sikapnya saat itu.
Begitu tulus hingga mengusik batinku lagi.

Cukup!
Logikaku mencoba menghalangi.
Lepaskanlah!
Sebelum ia berubah diri
menjadi jejak yang menyayat hati.

Jan2011